(text grabbed from : khe's)
“Gila kabutnya turun lagi nih, cepetan yuk!” ajakku.
“Ka, keluarin senternya dong!” pintaku pada Ka’Andi.
“Senter ngga bawa. Lilin aja ngga bawa,” jawabnya.
“Terus lighting kita gimana dunk? Agak tebel nih kabutnya. Trus nesting bawa ngga?”
“Ngga bawa. Kompor aja ngga bawa. Kan tadinya kita mau ke Badui, jadi ngga bawa-bawa yang kayak gituan”.
“Hah! Jadi ngga bawa apa-apa nih. Jangan bilang kalo kita ngga bawa tenda ya, kita mau tidur dimane bro?” seru ku. Mendengar preparation untuk hiking kurang, aku agak-agak risih juga.
“Udah ngga usah ribut, didepan ada gubuk tuh, sapa tau ada orang nya. Sekarang jam berapa khe?” Tanya Iduy.
“Lima lewat lima belas,” jawabku “Dah cepetan yuk!” padahal diantara mereka aku yang paling lambat jalannya.
“Kayaknya dulu ngga lewat-lewat kayak ginian deh. Yakin ini pasti kesasar,” celetukku.
“Shutt! Ngga boleh ngomong gitu,” seru Ka’Andi.
“Eh Astagfirullahhalaizim”.
“Wooiiiiiii………….,” Teriak Dede
Jangankan ada yang membalas sahutan, gema suara sendiri saja ngga kedengaran karena kabut sore itu memang tebal sekali.
***
Dua minggu yang lalu, atau tepatnya 18 Maret 2007, ketiga bro-bro ku datang ke Serang. Mereka adalah Iduy, Dede dan Ka’Andi. Awalnya mereka berniat untuk naik ke Gunung Karang (Pandeglang), tapi aku sarankan ke mereka untuk ke Badui. Karena menurut kawanku yang sudah pernah kesana, di Gunung Karang tidak ada apa-apa.
“Katanya sih disana Cuma ada tujuh sumur gitu aja. Dah gitu kecil-kecil lagi sumurnya. Tapi kita juga ngga bisa ke Badui, kata kawan ijin kesana ribet, ngga bias cepet. Dah kita ke PS aja yuk!” ajakku.
“Hah! Kita maen playstation khe?” Tanya Dede
“Ya bukan lah, dasar O’on,” jawabku sembari menjitak kepala Dede.
“Dimana tuh?” Tanya Iduy
“Di Pari, kesononya Mengger. Masih Pandeglang juga kok,” jawabku.
“Lo dah pernah khe?” Tanya Dede
“Udah pernah sih, tapi lama banget. Kalo dari curug ke kawahnya gue apal, tapi kalo dari kaki ke curugnya gue lupa”.
“Tapi jalan dari sini kesana tau kan?” Tanya Ka’Andi.
“Ya iyalah, secara gue orang sini gitu loh, hehehe…”.
Dengan menjabat sebagai Guide, aku ajak mereka bertiga ke Gunung Pulo Sari yang terletak di Desa Cileuntung Kecamatan Pari Kelurahan Mengger Kabupaten Pandeglang. (kayaknya sih urutannya gitu ;p)
Setelah jalan kaki cukup jauh dari Pari, akhirnya kita sampai di Desa Cileuntung pukul setengah tiga sore. Beristirahat sejenak di warung Emak. Disebut dekimian karena setiap pendaki yang mau ke PS pasti mampir diwarung ini, walaupun Cuma untuk nyelonjorin kaki doang. Tadinya kita ngegunain bahasa sunda biar terdengar akrab dengan Emak, tapi kayaknya Emak tau kalo kita “sunda gadungan” jadi setiap pertanyaan kita dijawabnya dengan bahasa Indonesia.
“Emak mah anaknya banyak neng. Kalo pada mau keatas (gunung PS) pasti mampir kesini dulu. Ada yang udah lama ngga kesini juga pasti inget,” kata si emak.
Tubuhnya kecil mungil, dari suaranya dan cara ia berbicara, kelihatan kalo Emak orangnya ramah dengan siapa saja.
Warungnya juga terbilang kecil, satu ruangan dibagi tiga sekat, satu ruangan untuk para pendaki istirahat, disediakan juga alat solat didalamnya. Satu ruang yang lainnya adalah dapur dan ruang lainnya yang agak besar tempat ia menyimpan jajanannya.
Emak memang kelihatan banyak “anak”nya, beberapa bendera Pencinta Alam terpampang di dinding warung Emak. Kata Emak itu semua pemberian “anak-anak” nya. “Banyak anak kan banyak rejeki,” katanya sambil mengupas pisang untuk dijadikan molen.
“Kalo mau minum mah ambil-ambil aja, ngga usah malu-malu,” seru Emak.
Diwarung Emak sudah ada beberapa pendaki yang beristirahat. Ada yang baru akan naik sama seperti kita berempat, ada juga yang baru turun dari “atas”.
Setelah kita cukup beristirahat, lepas Ashar kira-kira setengah empat kita mulai jalan menuju kaki Gunung PS. Dari jauh terlihat kabut tebal menyelimuti sebagian Gunung PS.
Sawah yang melintang dikanan-kiri jalan membuat kita berhenti untuk foto-foto terlebih dahulu.
“Duy, backgroundnya mesti keliatan. Pake timer aja biar lo juga bias masuk,” seru Dede sambil menunjuk Gunung PS.
“Sip!” bales Iduy.
1..2..3…click cheerrr
“Curug Putri, Kawah, Puncak Pulo Sari”. Begitu kata-kata yang tertulis pada papan yang berdiri sebelah kiri jalan. Mengarahkan kita untuk belok kekiri. Itu berarti kita telah sampai di kaki gunung. Dari kata-kata itu berarti untuk mencapai camp di kawah, kita semua harus melewati curug terlebih dahulu. Setelah sampai di kawah, baru kita bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung.
Ternyata setelah mulai mendaki, banyak cabang jalan menuju Curug Putri, ada yang agak kekiri dan satu lagi kekanan. Tanpa memperdulikan jalan yang kekiri, kita semua langsung berjalan kearah kanan, menuju persawahan penduduk. Sawah yang dibuat terasering, laut yang membentang serta Gunung Asepan yang etrletak disamping Gunung PS membuat kita semua terlena, dan membiarkan kaki ini berjalan menuju kearah sana.
“Yakin khe lewat sini?”
“Kayaknya sih gitu. Perasaan dulu pernah kesini deh,” jawabku.
Namun setelah berjalan lebih dari satu jam, suara air curug semakin tidak terdengar. Lereng gunung pun semakin tajam. Batas perkebunan petani sudah terlewati dan jarak pandang mata hanya beberapa meter, akibat kabut yang tebal.
***
“Kayaknya ngga lewat-lewat ginian deh,” seruku.
“Gue pikir kita udah ampe puncak. Cuma bedanya ngga lewat curug,” ungkap Iduy.
“Ngga mungkin! Kalo mau kepuncak kita mesti lewatin kawah dulu,” jawabku sambil mengeluh. Rasanya kaki ini sudah tidak mau diajak untuk berjalan lagi. Tapi kalo dilihat dari lerengnya, rasa-rasanya kita memang berada dipunggung puncak.
“Udah kita potong kompas aja!” celetuk Dede.
Tanpa ada yang menjawab, ia berjalan kekiri. Mengganti arah berjalan kita yang awalnya kekanan.
Sampai tak berapa lama kemudian, gubuk petani terlihat. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya. Jam ditangan sudah menunjukkan lima lewat tiga puluh. Itu berarti tiga puluh menit lagi waktu Magrib akan tiba dan itu berarti juga gelap akan meneyertai perjalanan kita.
“Gini aja deh. Mending malam ini kita minep digubuk ini dulu. Secara lighting kita juga ngga ada, udah gitu kabut makin tebal. Besok kalo cuaca baik kita terusin lagi perjalanan. Pokoknya patokannya curug kan khe?” saran Iduy. Belum sempat ku jawab, Ka’Andi sudah membalasnya.
“Udah kita lanjutin perjalanan aja. Lumayan masih agak keliatan. Ntar kalo emang ngga ketemu jalan, kita balik lagi kesini,” jawab Ka’Andi.
“Ya udah kalo gitu gue browsing dulu ama Dede. Lo ma Rieke jalan pelan-pelan aja. Ntar kalo gue dapet jalan, balik lagi,” ujar Iduy.
“Tapi lo mesti teriak-teriak duy. Ntar yang ada malah kita pisah lagi,” jawabku agak risih juga mendengar ide Iduy.
“Shutt ngga boleh ngomong gitu,” seru Ka’ Andi.
Akhirnya kita semua berjalan lagi. Iduy serta Dede berjalan paling depan. Karena jalan menuju arah kekiri agak menurun, jadi perjalanan kita pun sedikit lebih cepat. Iduy sudah berlari didepan dan Dede membuntutinya. Sedang aku dan Ka’Andi berjalan cukup santai, sambil berteriak-teriak.
“Woiiiii….De, Duy…,” teriakku
“Wooiiii…juga…,” sahut mereka.
Kira-kira duapuluh menit perjalanan, suara curug mulai terdengar. Itu berarti perjalanan kita mengarah kesana. Dan tak lama terdengar suara orang berbicang-bincang.
“Ka denger suara orang ngga?”
“Iya. Kayaknya dibawah udah curug deh”.
Woiii…De, Duy…
Tak berapa lama aku dan Ka’Andi sudah sampai ditempat Dede dan Iduy berdiri. Ternyata mereka berdua sedang berbicara dengan seorang bapak tua dan seorang bocah laki-laki.
“Muhun bah, kita semua teh kasasar. Tadina bade ka curug, tapi malah nyasab kadiye,” ujar Iduy yang kembali menjadi “Sunda gadungan”.
Bapak yang dipanggil abah ini tubuhnya kurus, dari perawakannya ia berumur berkisar 70an. Beruntung kita semua bertemu dengan dia, walaupun awalnya Iduy dan Dede sempat agak ketakutan juga, karena pakaian abah yang mirip jawara dengan muka yang tertutup syal layaknya ninja.
Kemudian kita semua mengikuti ia berjalan, beberapa menit kemudian kita sampai digubuk abah. Disana telah ada beberapa pendaki yang memang sudah turun dari kawah. Kita pun berkenalan, dan mereka sedikit kaget mendengar kita semua berasal dari Lampung. Karena rata-rata dari mereka semua berasal dari daerah Pandeglang.
“Oh harusnya kalian jangan kakanan lewat sawah, tapi agak kekiri. Padahal dari kaki kecurug tuh ngga lama lho,” seru pria yang terakhir kita kenal bernama ompong.
“Trus kalian masih mau ke kawah? Kalo kita baru aja turun, habis disana dingin banget. Kabutnya juga tebel pisan”.
Abah pun menyarankan agar kita beristirahat digubuknya saja. Namun setelah berunding kita sepakat untuk meneruskan perjalanan hingga ke kawah.
“Nanggung bah udah nyampe sini,” Seru Iduy.
Karena kita semua tidak membawa senter, abah pun menyarankan kepada anaknya beserta dua orang dari mereka untuk mengantar kami hingga ke kawah.
Baju dibandan sudah basah semua , belum lagi ditambah gerimis yang sejak magrib tadi belum juga usai, membuat tubuh ini basah kuyup. Dengan disertai dua buah senter dan satu buah korek, kami berjalan beriringan menuju curug baru setelah itu naik kembali menuju kawah yang derajat kemiringannya hingga 60 derajat.
“Ambil kanan…ambil kanan…kiri jurang!” seru Ompong memberi komando.
Kami semua pun berjalan menghindari kiri, karena bila selip sedikit saja kita semua jatuh ke jurang.
“Tahan Pong, istirahat dulu,” seru seseorang dibelakangku.
Setelah menempuh perjalanan kira-kira satu setengah jam kami sampai di kawah. Tenda yang berdiri dipaling depan menyambut kedatangan kami. Mereka adalah pendaki dari Pandenglang yang sempat berpapasan dengan kami di warung Emak tadi sore.
Kami tidak dapat melihat dengan jelas ada berapa tenda yang beridir di kawah hari itu. Setelah mencari lahan yang cukup datar, kami pun mendirikan tenda dibelakang tenda orang yang akhirnya kita kenal adalah para pendaki dari Tangerang.
Gerimis sudah mulai reda namun kabut tetap masih tebal. Baju yang basah kuyup membuat tubuh ini menggigil kedinginan, bahkan Iduy mengaku kalau telapak tangannya sudah mati rasa. Namun tak berapa lama tenda pun berdiri dan kami bersama pendaki dari Tangerang membuat api unggun, sambil menyeruput kopi panas.
***
Keesokkan pagi baru keliatan jelas kalau hari itu ada banyak tenda yang berdiri. Bahkan kabarnya ada dua tenda yang nge-camp di puncak sejak hari kemarin. Karena kami tidak membawa kompor dan nesting, maka kami memasak mie dengan menyeburkannya ke air belerang yang mendidih. Orang sekitar biasa menyebutnya “memancing” ala PS. Tidak perlu kompor, tidak perlu nesting apalagi minyak tanah. Cukup mie diremuk-remuk lalu diberi air dan diikat dengan seuntai tali kemudian kita celup-celupkan di air belerang yang mendidih, mie rebus ala PS sudah siap saji. Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama pula, hanya beberapa menit saja kita sudah bisa menyantapnya.
“De, foto dunk gue lagi mancing! Keliatan mie nya ya. Aneh juga masak mie pake cara begini, hee..,” ujar Iduy.
Clikk…jeprett
Satu roll film telah kita habiskan untuk foto-foto dikawah. “Tenang, masih ada satu roll lagi,” ujar Iduy.
Sekitar pukul sepuluhan kita beres-beres. Tendapun kita rubuhkan dan mulai membakar sampah-sampah bekas tadi malam. Pendaki asal Tangerang sudah “turun” dari pukul sembilan pagi tadi. Ada beberapa tenda yang masih berdiri namun sebagian besar mereka juga “turun” hari ini. Selain berkenalan dengan pendaki Tangerang, kami pun berkenalan dengan Tari, wanita perantau yang ternyata memiliki kampung di Lampung juga, atau tepatnya didaerah Talang Padang Tanggamus. to be continue
fotografi oleh : deemonz
Teks oleh : khe's
1 Apr 2007
Road to Pulosari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
"Kumaha? Naek ka gunung Pulosarina reseup?" kenalin jga, gua orang pandeglang sini, jangan kapok buat naek lagi ya?
Posting Komentar