23 Jul 2004

Siang Seorang Penambal Ban

Siang Seorang Penambal Ban

Cerpen Deemonk



Burjo menyeruput kopi. Matanya terbelalak, setelah telunjuk memencet tombol tujuh di remote control. Semburan sinyal elektrik yang membentuk citra di tabung kaca televisi membuat kedua bolamata bergerak. Kepulan asap rokok dari mulut ternganga meski mengganggu pandangan, tidak digubrisnya.


Wajah bengkak dan amburadul tak karuan di layar buram itu membuat Burjo seperti orang yang hilang akal. Kelopak mata kiri biru lembam, gumpalan darah mengental di ujung pelipis, bibir hitam sedikit lebih besar dari ukuran normal, tidak membuat Burjo pangling akan wajah yang sudah sangat dikenalnya itu. Pandangannya masih tertuju pada monitor seukuran 14 inci itu, runut, sepertinya tidak mau lepas satu detik saja.


Sebenarnya tayangan sejenis ini merupakan hal lumrah bagi Burjo. Bahkan bagi sebagian orang di lingkungan sekitar Burjo tinggal, tayangan sejenis itu seakan mendapat rating tertinggi kedua setelah tayangan "Instant Idol." Kekerasan, muka-muka amburadul, introgasi polisi, letupan peluru dan ceceran darah senantiasa menemani bersantap siang disela-sela kerja sebagai penambal ban. Sampai-sampai ia hapal diluar kepala kata-kata yang biasa diucapkan tokoh bertato dan bertopeng pada akhir acara.


“Waspadalah! Kejahatan bisa terjadi blah…blah…blah…”.




Tapi siang ini tayangan info kriminal favoritnya ini menampilkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat mulut ternganga, sesuatu yang membuatnya tak menyadari remote yang sudah digelung karet itu terjatuh ke lantai. "Prakk!!!" Burjo berjengit dan sesaat kemudian sadar bahwa remote yang semula ditangan, kini sudah didekat kaki kursi tua yang Ia duduki, sedangkan baterai remote berhamburan ke segala arah.


Sementara mata mencari per yang berlompatan entah kemana, jemari tangan menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal. Ia masih tak percaya wajah amburadul di layar kaca itu memang wajah sang adik, Bunnael, dan lokasi itu, aspal yang berlubang, tiang listrik bercat kuning, adalah kampung halamannya di Dusun Sianular, Sibolga. Tanpa peduli lagi tentang per remote yang entah kemana terpelanting, Mardubur Jonet Sijarijari, alias Burjo semakin telaten mengikuti setiap informasi yang diberikan oleh reporter televisi secara langsung dari tempat kejadian.


Hatinya kian ‘mencelos’ ketika informasi dalam bentuk grafik ditampilkan. Disitu terpampang jelas foto Bunnael beserta sekelumit tentang kejahatannya:


Nama lengkap : Marbun Nathanael Sijarijari

Pekerjaan         : Mahasiswa

Usia                 : 21 Tahun

Kejahatan        : Tindakan subversif, Pencemaran nama baik.


“Diancuk!!!!”


Kawan-kawan sepergaulan Burjo yang kebanyakan berasal dari daerah Pekalongan membuat Ia familiar dan tidak segan mengumpat dengan kata itu. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Burjo kembali bersandar di kursi tua. Ukiran klasik bermotif bunga di pegangan kursi ditambah dengan lubang-lubang yang dipenuhi telur kayu, semakin menandakan ketuaan kursi tersebut.


“Bah! apa pula yang dilakukan si Bodoh itu,” ujarnya, dan ketika dia mengucapkan ”bah!” serta merta diiringi bunyi “kret!” dari kursinya yang seakan ikut mengumpat.


Degup jantung yang tiada beraturan, membuat aliran darah ke otak tidak lancar, sehingga emosi Burjo tiada kendali.


“BAH!” kini lebih keras dan kali ini diiringi bunyi “prett!” persis dari alas kursi yang Ia duduki. “ Ah masa bodoh lah, aku saja sedang dirundung kesusahan untuk mengurus diri sendiri, apalagi mau mengurusnya, seharusnya dia kan lebih tahu”


Namun Ia tetap berusaha berpikir jernih. Bak seorang filsuf, Isi didalam kepala yang setengah botak  kini tidak langsung menerima apa yang baru saja didapat dari ‘kotak elektronik’ tersebut. Keraguan menyelamatkan  dari berbagai macam sensasi, kesan dan pengalaman yang ditangkap keseluruhan indra yang Ia miliki. Keraguan adalah juru selamat. Sambil menyeruput kopi pahit, Ia mulai meragukan kebenaran. Tidak seperti filsuf, pertanyaan demi pertanyaan yang kian menggelembung didalam cangkang berpikir bukan meragukan kebenaran pada taraf apakah perbuatan Bunnael tidak menyalahi norma?..


apa itu norma?..

apa itu apa? ..

Apa itu? ..

Apa? ..

...?

***


Keraguan yang ada padanya baru menghasilkan pertanyaan “Apakah informasi yang dibacakan si reporter di televisi itu sahih..?” Pertanyaan Burjo bukannya tidak sampai pada taraf … ? Namun ia ’enggan’ mencari jawabnya. Dengan alasan, pernah suatu kali Burjo secara tidak sengaja-- terperangkap didalam obrolan gerombolan mahasiswa yang kebetulan menambal ban motor. Salah seorang dari mereka di ‘bengkel’-nya, sambil menunggu ban ditambal, mereka berdialog. Dengan gaya bicara yang hampir seragam. Duduk berderet-deret di bilik reyot, tempat Burjo biasa menanti pelanggan. Yang tidak kebagian tempat mengambil posisi sama dengan Burjo, nongkrong, dan kini mulai mengeluarkan ban dalam dengan kunci pas.


Coba lihat rokok mereka. Seperti yang dihisap tetua di kampung-kampung, bergiliran pula. Mereka nampak kusam untuk dapat dikategorikan sebagai golongan terpelajar. Semua mata tampak sayu, seperti gerombolan yang baru saja menghabiskan malam bersama, sambil makan kacang, merokok bergiliran, sambil bercanda.


Mereka memulai perbincangan tentang kelakuan para mahasiswi yang tiap menaiki angkutan umum selalu saja tangan kanannya memegang bagian bawah kerah kaos mereka dan tangan kiri memegang bagian celana dibelakang pinggul. Lalu muncul sebuah ide liar, mereka ingin menjadikan pinggul belakang mahasiswi yang nongkrong diselasar kampus sebagai asbak. Mereka berdiskusi, sambil makan kacang, tetap bergiliran, sambil cekikikan.


Namun pada saat Burjo sampai pada bagian memasukkan ban dalam ke dalam baskom hitam besar yang dipenuhi air, topik pembicaraan kelompok mahasiswa tadi sudah berubah. Mereka kini membicarakan sesuatu yang agak sulit dipahami, seperti: kehendak berkuasa, sistem, nilai, norma, ekstase, eksistensi, realitas, dunia tanpa kelas (“murid sekolahan dimana belajarnya! dilapangan?” sahut Burjo membatin), dan sederet kata-kata yang ganjil dikuping Burjo. Yang mungkin dipahami Burjo adalah ketika mahasiswa berambut kribo dan yang berambut gimbal, seperti tidak pernah ber-shampoo, beradu pendapat tentang keberadaan Sang Pencipta, sambil makan kacang, sambil bergiliran, sambil tertawa. Konyol!


Perbincangan mahasiswa di bengkel sudah cukup memberinya alasan untuk tidak merunut-runut pertanyaan sampai jauh kebelakang.

..?


“Apa itu artinya?“ Burjo bertanya pada mahasiswa berambut gimbal sambil menunjuk baju yang dikenakan mahasiswa itu. Baju hitam mbladus, bergambar orang berambut gimbal, seperti pemakainya, sedang mengepalkan tangan bertuliskan “– ZACH DE LA ROCHA – shaking up the norm since 1992. “Ohh ini.. emang nape lae, kalo nggak salah sih artinya ee..dia ini tukang ngelanggar norma blah…blah… blah..saya suka lirik lagunya…blah..blah… “ Ocehan mahasiswa itu membuat isi kepala Burjo kisut semrawut.

***

..?

apa..?

apa itu ..?

apa itu apa..?

apa itu norma.. ?

apa perbuatan Bunnael tidak menyalahi norma?

apakah informasi yang dibacakan si reporter di televisi itu sahih..?


Tiba-tiba rasa panas disela telunjuk dan jari tengah menyentaknya. Kembali membuat kejutan dijantungnya. Secara reflek, tangannya terlempar kedepan. Melontarkan puntung rokok kretek yang pada bagian mereknya sudah habis terbakar bersama tembakau. Melayang ke arah layar televisi, serta merta abunya berhamburan. Tanpa disadari abu putih telah bertebaran di sekitar pusarnya yang cekung. Lemak diperutnya yang menggelambir membuat pusarnya semakin cekung. Kini ia melakukan gerakan tak terkoordinasi, meniup buku-buku jarinya, mengebas-ngebaskan abu diperut, mengorek-ngorek pusar. Mengguncangkan kursi tua.


Burjo kembali mendapati dirinya berada dikursi tua itu. Telur kayu bercampur abu rokok terhambur di atas kursi itu akibat guncangan badan gempal Burjo. Kini burjo duduk diam. Namun Pikiran tidak pernah diam, karena pertanyaan “apakah informasi yang dibacakan si reporter di televisi itu sahih?” telah menguasai benaknya.


Diluar, Hitam menggulung biru. Mendung menggulung langit. Cahaya menghujam bumi melalu celah-celah kanopi. Berpendar ke segala arah lalu merasuki tiap rumah melalui celah yang ada. Didalam, temaram meggelayut di seluruh ruang. Dari belakang kursi, kepala setengah botak Burjo kini membentuk siluet berlatarkan pancaran elektrik pada tabung televisi, sehingga kepalanya tampak seperti bulan sabit di angkasa yang temaram. Pancaran tersebut menyirami seluruh bagian depan sang wajah, Hingga coklat biji mata yang kini sedang menyelami tabung kaca tersebut tampak pudar keemasan.


Wajah bengkak dan amburadul tak karuan dilayar sekarang telah dihiasi keceriaan. Banyak orang berpelukan disana. Kamera tersembunyi telah diungkap oleh si pembawa acara. Diakhir acara baru diketahui bahwa wajah lebam hanya salah satu bualan produser untuk membuatnya melongo seperti orang yang hilang akal. Kelopak mata kiri yang biru lebam, gumpalan darah mengental di ujung pelipis sobek, bibir hitam yang sedikit lebih besar dari ukuran normalnya, telah terhapuskan oleh satu kalimat pendek dari si pembawa acara


“Selamat anda kena Ngaburr!, Reality Show terpopuler di negeri ini.” urusanpun selesai.


Ia tahu bahwa acara ini bukan acara yang tadi. Acara saat ia menekan tombol tujuh di remote control. Dan si biru lebam yang berpelukan itu bukan Bunnael, adiknya. Namun kini Ia tidak takut untuk berharap bahwa adiknya masuk salah satu acara reality show. Karena semua acara televisi, tayangan info kriminal, kuis, sinetron, iklan, adalah reality show yang dikemas dalam bentuk yang berbeda. Lebih variatif dan memikat. Ketimbang gagasan gila mahasiswa berambut gimbal, yang ingin menjadikan pinggul belakang mahasiswi sebagai asbak.


“…Yes I know my enemies

They’re the teachers who taught me to fight me

Compromise, Conformity, Assimilation, Submission, Ignorance, hypocrisy,

brutality, the elite… All of which is American dream…”


Sayup sayup alunan tembang dari grup musik barat, Rage Against the Machines, mengiringi outro acara tersebut. Penambal ban itu kembali menyeruput kopinya yang mulai dingin.


“Ini adalah perangku dan kotak jahat itu!”

("this is my war against that evil's box!")



Indonesia

Grey Friday, Juli 23th, 2004

Read More......